Hallo Ibu Pintar !! Di zaman now. Saat semua orang berhitung tentang untung rugi, atau
istilah kerennya take and give, apa masih ada orang yang benar-benar ikhlas
memberi tanpa meminta? Mungkin ada yang menjawab ‘sedikit’, atau ‘nggak
ada lagi’, atau ‘itukan sudah gaya hidup zaman now’. Untuk hal-hal yang berhubungan dengan cinta, hubungan
interpersonal, bisnis, bahkan politik, istilah ini seringkali dipakai. Bahkan
ada yang menggunakan istilah itu dalam hubungannya dengan (maaf)
Tuhan. Istilah yang berbahaya kalo menurut saya. Take and Give, mengambil dan
memberi. Mengambil dulu baru memberi? Wah… Apakah kita tidak akan memberi
apa-apa sebelum mendapatkan sesuatu? Akhirnya, konotasi dari konsep tersebut
akan menyimpulkan ‘Kita tidak akan membantu orang jika orang itu tidak
mendatangkan keuntungan apapun pada kita’, ‘Kita tidak akan sudi melakukan
shalat, menyembah-nyembah Tuhan jika Tuhan belum memberikan apa yang kita mau’.
wah bisa bahaya kan?!
Lalu kenapa judul tulisan saya di atas Lelah
yang membahagiakan?. Konsep sebenarnya, saya
ambil dari keikhlasan. Banyak kok yang masih mau memberi tanpa meminta,
menolong tanpa pamrih, membantu tanpa mengharapkan apa-apa. Seperti orang tua
kepada anaknya, Ibu untuk anak-anaknya. Guru juga banyak yang mengabdi tanpa
mengharapkan balasan dari murid-muridnya. Ada juga sukarelawan-sukarelawan yang
membantu banyak orang yang sedang terkena bencana alam misalnya, atau membantu
orang-orang yang susah dalam naungan organisasi social. Bahkan ada dokter yang
mengobati pasiennya tanpa dibayar. Dan masih banyak lagi.
Oh ya Ibu Pintar, tulisan saya kali ini akan memfokuskan tentang
Ibu, ‘Sang surya yang selalu menyinari dunia’. Menjadi ibu adalah sebuah keputusan
yang semua wanita akan jalani, khususnya di Indonesia. Sudah kodrat kita
sebagai wanita akhirnya akan menjadi Ibu. Namun perjuangan ibu bukan hanya soal mengandung dan
melahirkan. Merawat bayi dan membesarkan. Ibu adalah sosok yang sangat
Multitasking.
Wanita selalu identik dengan label ‘Lemah
Lembut’. Tapi saat kita bicara tentang Multitasking tadi maka sosok ibu menjadi
sangat kuat. Jika sebuah rumah kita samakan dengan satu perusahaan, maka tugas ibu
bisa menjadi Manager perusahaan itu. Ia juga memegang kepala keuangan, Chef
cooking, bosnya cleaning service, baby sitter 24 jam, tukang ojek atau personal
driver. Kalo jalan-jalan dia jadi pemilik traveller. Dan banyak lagi tugasnya. Dan
itu dilakukan sehari 24 jam, seminggu 7 hari, tanpa ada waktu break dan cuti. 24
jam ready to serve. Tidak ada keluhan. Malah lelahnya itu menjadi kebahagiaan baginya, bila semua yang
dilakukannya bisa:
·
Membuat
suami tersenyum,
·
Rumah
yang bersih,
·
makanan
yang sehat dan bergizi
·
serta anak-anak
yang sehat dan pintar.
Ibu juga seorang yang sangat smart dalam mengatur
keuangan. Saat kekurangan atau kelebihan ia bisa mengaturnya menjadi cukup
untuk keluarganya.
Ibu adalah smart ladies yang mampu membuat
anaknya menjadi
·
smart kid
dengan didikannya,
·
healthy
kid dengan makanan-makanannya,
·
dan discipline
kid dengan aturan-aturannya
Dan jangan lupa Ibu Pintar, ibu juga
disebut madrasatul ula; sekolah yang pertama. Sebab sejak bayi,
anak belajar dari ibunya; kebiasaan, kata-kata, dan keteladanan. Bahkan
keimanan.
Lalu sejarah pun mencatat, betapa banyak
pahlawan besar lahir dari rahim dan didikan wanita-wanita mulia. Mereka bukan
hanya menjadi ibu biologis, namun juga ibu ideologis. Mereka bukan hanya
mengantarkan anak-anaknya tumbuh sehat namun juga memiliki ideologi kuat.
Mereka bukan hanya membesarkan fisik anak-anaknya namun juga membesarkan
cita-cita dan obsesi mereka.
Siapa pun kita, apa pun yang kita capai hari
ini, semuanya tak lepas dari peran ibu. Maka Rasulullah pun mewasiatkan agar
kita memuliakan dan berbakti kepadanya. Bahkan ibulah yang disebut tiga kali
ketika seorang sahabat bertanya kepada siapa aku harus berbakti: “ibumu”,
“ibumu”, kemudian “ibumu.” Setelah itu baru, “ayahmu.”
Ibu juga merupakan sosok yang sangat kuat dalam
membela dan membesarkan anaknya. Saya akan mengambil tiga contoh ibu kuat dari
banyak ibu kuat lainnya dalam sejarah islam,
Ø Ayarikha, ibunda Nabi Musa AS – demikian namanya
seperti dikutip Ibnu Katsir dalam ‘Qashashul Anbiya’– keadaannya saat
itu sangat berat. Musa yang baru dilahirkannya, terancam dibunuh rezim Fir’aun,
sebagaimana bayi laki-laki lainnya. Maka ia pun mengikuti ilham yang
diterimanya, memasukkan Musa ke dalam peti dan menghanyutkannya ke sungai. Ia
menjalani perannya dengan keikhlsan dan keyakinan hanya kepada Allah semata. Sehingga
Musa AS selamat dan tumbuh menjadi seorang nabi yang mempunyai keteguhan iman
yang kuat dan berani dalam menghadapi tantangan saat
menyampaikan kebenaran.
Ø Asma’
binti Abu Bakar. Saat
itu usianya telah senja, hampir 100 tahun menurut Mahmud Al Mishri dalam Shahabiyat
hawlar Rasul. Ia juga dalam kondisi sakit saat pasukan Al Hajjaj bin Yusuf
ats Tsaqafi menyerbu Makkah Al Mukarramah memburu putranya, Abdullah bin
Zubair. Dalam momen-momen mengharukan itulah terucap kalimat Asma’ yang
mengabadi hingga zaman ini: “Isy kariman au mut syahidan.” Hidup mulia
atau mati syahid. Semboyan yang kemudian menjadi semangat Abdullah bin Zubair
untuk bertempur hingga titik akhir.
Ø Ummu Nidhal, nama aslinya Maryam, dialah istri Asy Syahid Fathi
Farhat. Tak hanya mendukung suami menjadi syahid, Ummu Nidhal juga
mempersembahkan seluruh anaknya menjadi mujahid. Enam putra dan empat putri,
seluruhnya masuk Izzudin Al Qasam. Tiga putranya telah syahid; Nidhal, Muhammad
dan Rowad. Dan saat Akhwat lain pernah mengungkapkan bela sungkawa karena putranya
syahid, ia berkata “Jika engkau mau menyampaikan bela sungkawa, maka pulanglah.
Namun jika engkau mau menyampaikan selamat atas syahidnya putraku, aku akan
menyambutmu.”
Wallahu
A'lam Bishawab, Sejarah dari ibu para pejuang islam bisa menjadi inspirasi bagi
ibu zaman now. Ke ikhlasan mereka membesarkan dan mendidik mereka tanpa pamrih
menjadi contoh nyata bahwa peran ibu adalah sangat penting.
Oke Ibu Pintar, perbanyaklah
berbuat kebaikan. Jangan menghitung-hitung untung ruginya. Lakukan saja dengan
hati yang ikhlas, agar bisa menjadi contoh untuk anak-anak kita nanti dalam
menjalani hidup mereka di masa depan.
Ratna Smadjid, 5 Mei 2018